Dengan pesatnya kemajuan digital dan kemudahan akses media sosial, muncul fenomena baru di Indonesia, yaitu tren "laki-laki tidak bercerita". Ungkapan ini kerap dipadukan dengan humor, seperti "Laki-laki tidak bercerita, pikirannya malah tumbuh uban," atau "Laki-laki tidak bercerita, malah bengong sebelum kerja."
Tren yang ramai diikuti ini seolah menampilkan bahwa banyak laki-laki yang memilih untuk menyimpan masalahnya. Namun, di balik sisi komedi ini, muncul pertanyaan: apakah ini salah satu bentuk toxic masculinity?
Menurut dra. Sri Kusumo Habsari, M.Hum, Ph.D, dosen Kajian Gender Universitas Sebelas Maret (UNS), tren ini bukanlah toxic masculinity melainkan lebih kepada hegemonic masculinity.
"Saya tidak akan menyebutnya toxic. Toxic terjadi ketika ada bullying terhadap mereka yang tidak bisa menampilkan hegemonic masculinity," ujar Habsari pada Kamis (14/11/2024), dikutip dari Kompas.com.
Dengan kata lain, laki-laki yang memilih tidak bercerita tidak berarti menjadi pelaku atau korban toxic masculinity. Fenomena ini lebih menampilkan bagaimana norma dominan menuntut laki-laki untuk tampak kuat, sedangkan mereka yang menyimpang dari norma tersebut sering dipandang "kurang maskulin".
Habsari juga menjelaskan bahwa menyimpan perasaan adalah bagian dari maskulinitas Asia yang lebih lembut.
"Diam, menangis dalam hening, atau berdoa adalah bentuk maskulinitas Asia yang lebih halus," katanya. Ini menunjukkan bahwa maskulinitas dapat bervariasi, bergantung pada konteks budaya dan norma.
Di Asia, kontrol diri dan ketenangan dianggap sebagai tanda kedewasaan dalam maskulinitas.
"Dalam konsep Asia, laki-laki maupun perempuan dianggap lebih baik jika mampu mengontrol diri," kata Habsari.
Di masyarakat Indonesia yang kental dengan budaya patriarki, laki-laki diharapkan tampil kuat tanpa menunjukkan kelemahan, termasuk dalam mengungkapkan perasaan.
Menurut Prof. Dr. Argyo Demartoto, M.Si, dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS), patriarki yang kuat membentuk standar maskulinitas yang menuntut laki-laki untuk tampak tegar dan tidak menunjukkan kelemahan.
"Budaya patriarki di Indonesia sangat kuat, menjadikan laki-laki sebagai figur dominan," ujarnya.
Di balik standar maskulinitas Asia, ada tekanan untuk menekan emosi, seakan-akan menunjukkan emosi akan mengurangi "keperkasaan". Namun, menyimpan emosi bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental.
Dokter spesialis kesehatan jiwa, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, menuturkan bahwa beban mental laki-laki bisa lebih besar ketika mereka enggan bercerita.
"Menuturkan perasaan adalah cara alami untuk meredakan emosi. Tanpa bercerita, laki-laki menyimpan beban yang berat," katanya.
Kebiasaan menahan emosi tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga dapat memengaruhi hubungan sosial mereka. Norma maskulinitas yang menuntut laki-laki untuk diam justru memiliki sisi negatif.
"Banyak laki-laki merasa bahwa berbagi masalah bisa merusak citra kuat mereka, sehingga mereka memilih menyimpannya sendiri. Padahal, tekanan itu bisa berbalik merugikan mereka," kata Argyo.
Tidak jarang, tekanan ini dapat menyebabkan ledakan emosi yang berdampak buruk, baik bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Dalam kasus ekstrem, ketidakmampuan untuk mengekspresikan perasaan bisa berujung pada perilaku kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Namun, Habsari mengungkapkan bahwa kekerasan bertentangan dengan maskulinitas Asia.
"Bagi maskulinitas Asia, kekerasan bertolak belakang dengan norma maskulinitasnya," tegasnya.
Secara lebih luas, Jiemi menyoroti bahwa kebiasaan menyimpan perasaan ini juga menjadi salah satu faktor tingginya angka bunuh diri di kalangan laki-laki. Laki-laki seringkali mengambil langkah fatal karena akumulasi tekanan yang tidak diungkapkan.
"Laki-laki memiliki masalah tersendiri. Bukan berarti masalah perempuan lebih ringan, tetapi kemampuan perempuan untuk bercerita membantu mereka dalam menghadapi perasaannya," jelasnya.
Laki-laki Tidak Kehilangan Maskulinitasnya dengan Bercerita
Memahami bahwa mengekspresikan perasaan bukan tanda kelemahan adalah langkah awal untuk mengubah persepsi ini. Jiemi menjelaskan bahwa bercerita tidak berarti mengungkap semua hal, melainkan menyampaikan emosi yang menyertai suatu pengalaman.
"Banyak orang bingung mau bercerita tentang apa. Padahal, cerita kita bukan hanya tentang kejadiannya, tetapi perasaan yang muncul," ungkapnya.
Langkah kecil untuk membuka diri dapat dimulai dengan berbagi perasaan kepada orang terdekat, seperti keluarga atau teman. Argyo menambahkan bahwa lingkungan sosial yang mendukung akan membantu laki-laki merasa lebih aman untuk bercerita tanpa takut kehilangan citra maskulinnya.
"Di media sosial, laki-laki mungkin merasa lebih rentan karena privasi tidak terjamin," ujarnya.
Fenomena "laki-laki tidak bercerita" membuka diskusi tentang bagaimana maskulinitas dapat diekspresikan dengan berbagai cara, bukan hanya dengan stereotip kuat atau dominan. Sementara sebagian masyarakat melihat ini sebagai toxic masculinity, ada pula yang memahami bahwa ini adalah ragam maskulinitas yang berbeda.
Rambut rontok merupakan permasalahan umum yang bisa terjadi pada siapa saja. Penyebabnya sangat bera...
Buah dikenal sebagai makanan sehat yang tinggi serat dan vitamin. Namun, petani sering menggunakan p...
Tren alis berserat atau bushy brow kini banyak diminati karena memberikan tampilan alis yang tebal n...
Dengan pesatnya kemajuan digital dan kemudahan akses media sosial, muncul fenomena baru di Indonesia...
© Copyright 2024 NTT Berkabar - All Rights Reserved